Sabtu, 17 Januari 2009

Rasialisme yang tak kunjung padam

Kutipan : Bisnis Indonesia, Sabtu, 17/01/2009

Rasialisme yang tak kunjung padam

Isu diskriminasi terhadap WNI keturunan Tionghoa belakangan ini boleh dibilang sudah mereda. Tak banyak lagi gejolak di masyarakat yang dipicu isu rasialisme. Diskusi terbuka soal ini juga praktis tak banyak dilakukan. Ada yang menganggap isu etnis sudah selesai, namun pada sebagian lainnya, isu ini sebetulnya masih tersimpan di alam bawah sadar.

Tanggal 13 Mei 1998 adalah titik hitam dalam perjalanan sejarah negeri ini. Di Jakarta, Tangerang, dan Solo hingga kini masih banyak bekas gedung terbakar yang dibiarkan terbengkalai, menjadi saksi kerusuhan massal yang menyisakan bekas mendalam bagi banyak orang.

Kini 10 tahun lebih berlalu, berbagai isu seputar kerusuhan itu tak juga terkuak, seperti soal isu rekayasa dalam aksi kerusuhan itu, juga isu perkosaan massal atas etnis keturunan Tionghoa. Satu hal yang pasti, kerusuhan dua hari itu menjadi momentum yang menandai bahwa masalah rasialisme masih menjadi problem keseharian di negeri ini yang siap meledak sewaktu-waktu.

Sejak reformasi bergulir, berbagai diskriminasi administratif yang selama era Orde Baru dialami WNI keturunan-istilah yang digunakan pemerintah Orde Baru untuk menyebutkan warga keturunan Tionghoa, secara berangsur sudah dihapuskan.

Kebudayaan China belakangan juga dibiarkan berkembang bebas. Stabilitas keamanan dan politik boleh dibilang memang terjaga. Namun, dalam kehidupan keseharian, hambatan dalam proses asimilasi juga masih terlihat dan tidak dapat ditutupi.

Justian Suhandinata, mantan atlet bulu tangkis yang lebih dikenal malang melintang sebagai pengurus di PBSI dan IBF, membuka permasalahan seputar kehidupan isu diskriminasi etnis itu dalam sebuah buku berjudul WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia.

Buku itu sebetulnya merupakan hasil disertasinya di Washington International University. Justian melakukan penelitian literatur di 7 negara Asean terhadap tren kehidupan warga Tionghoa dan proses interaksinya dengan warga setempat di Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, Vietnam, Filipina, dan Indonesia.

Dari buku itu dia ingin menyampaikan pesan agar berbagai permasalahan yang terjadi di Tanah Air tidak digeneralisasi ke persoalan kelompok, etnis, ras, agama, atau budaya.

"Seperti juga suku dan keturunan lainnya di Indonesia, WNI keturunan Tionghoa juga sama, memiliki kelebihan dan kekurangan, ada yang kaya, sangat kaya, super kaya, banyak juga yang miskin dan sangat miskin. Ada yang baik, ada yang jahat."

Masalah kesenjangan sosial selama ini memang menjadi salah satu pemicu munculnya sentimen negatif atas WNI keturunan Tionghoa.

Menteri Perumahan Yusuf Asy'ari yang ikut hadir dalam peluncuran buku Justian pada Rabu lalu (14 Januari) berpendapat masalah sentimen negatif tersebut umumnya lebih didominasi masalah dominasi ekonomi. Namun, menurutnya masalah rasialisme yang terjadi di Tanah Air tidak dapat dialamatkan ke satu pihak saja.

"Akar dari permasalahan ini jauh lebih serius, yaitu karena kesalahan sejarah."

Dalam praktiknya, diskriminasi sebetulnya tidak hanya terjadi oleh warga mayoritas atas WNI keturunan Tionghoa. Praktik diskriminasi sebetulnya juga terjadi dari arah sebaliknya. Tak sedikit warga nonketurunan Tionghoa yang mengeluh karena kariernya di perusahaan tertentu terhambat karena berkulit sawo matang.

Selain kesenjangan ekonomi, isu agama ikut memengaruhi terpeliharanya masalah rasialisme.

Dalam perspektif yang lebih luas, isu rasialisme harus mulai ditinggalkan jika ingin selamat dalam era globalisasi.

Presiden Global Nexus Institute Christianto Wibisono mencoba meyakinkan bahwa bangsa Indonesia harus menghargai meritokrasi jika ingin melangkah maju dalam tataran global.

"Kalau mau maju, Indonesia harus tampil ke depan dengan memimpin Asean," ujarnya.

Jika tidak dapat memimpin di tingkat Asean, Indonesia tidak akan dapat bergerak ke mana-mana.

Christianto mengatakan krisis global saat ini telah memukul mundur Amerika Serikat dan Eropa tetapi membuktikan kebangkitan Asia dengan dimotori oleh China, India, dan negara-negara Arab.

"Dari krisis ini sebetulnya terlihat bangsa kulit putih [AS dan Eropa] tidak mau terima dengan kebangkitan bangsa-bangsa kulit berwarna." (tri.dp@bisnis.co.id)

Oleh Tri D. Pamenan
Wartawan Bisnis Indonesia

Selasa, 13 Januari 2009

Acara Menyambut Imlek 2560

Dalam rangka menyambut perayaan Imlek 2560
Ikatan Pemuda - PSMTI Kota Batam bekerjasama dengan Nagoya Hill - Shopping Mall
Mengadakan Kegiatan Sosial

"Bazaar Imlek dan Panggung Seni & Budaya Tionghua"
pada tanggal 09 January 2009 s/d 18 January 2009 di area Shopping Street, Nagoya Hill
Jam 10:00 Wib s/d 22:00 Wib


&

"Panggung Seni & Budaya Tionghua"
Pada Tanggal 19 January 2009 s/d 23 January 2009 di area Atrium Utama, Nagoya Hill
Jam 18:00 Wib s/d 20:00 Wib